Catatan Bhayangkara Adventure 2014: Memupuk Tunas Muda Indonesia Agar Tumbuh Subur


Saka Bhayangkara Adventure 2012
Bhayangkara Adventure 2014

Di penghujung tahun 2014, ratusan pelajar dan pemuda berkumpul di lapangan desa Jatimulyo Kecamatan Jenggawah. Mereka berseragam coklat kering dan coklat basah, berkalung merah putih. Mereka adalah Praja Muda Karana tingkat Penggalang, yang mengikuti lomba Pramuka bertajuk Bhayangkara Adventure 2014. Sebuah lomba pramuka yang diselenggarakan oleh Saka Bhayangkara Polsek Jenggawah.

Dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga hari tersebut tampak jelas ketagguhan dan semangat para generasi penerus bangsa. Hal ini sekaligus menepis bahwa generasi penerus bangsa Indonesia kesemuanya dalam masa suram. Selama ini yang dimunculkan dalam berita baik lokal maupun nasional lebih banyak berita tentang pelajar yang negatif. Baik ketika membolos, tawuran, maupun ketika (maaf) mesum. Sedangkan kegiatan positif para pelajar kurang mendapat porsi dalam pemberitaan.

Ketika melongok berita-berita negatif seperti yang telah disebutkan di atas, seakan-akan Indonesia akan ambruk tak lama lagi. Tetapi ketika mengikuti kegiatan Pramuka maka semangat akan kehebatan Indonesia di masa mendatang bertumbuh dan menemukan keyakinan. Betapa tidak, di puncak musim hujan banyak pelajar yang rela bercapek-capek ria, berhujan, berpanas, dan bahkan di hari pertama tenda mereka kehujanan, lebih tepatnya kebanjiran. Tidak ada di antara mereka yang mengeluh. Acara terus berlanjut meskipun sempat tertunda beberapa saat dikarenakan hujan.

Dewasa ini banyak pendapat bahwa generasi muda kini adalah generasi gadget, generasi instan, apatis. Lagi-lagi itu sama sekali tidak terlihat di bumi perkemahan Jatimulyo. Para pemuda ini hidup mandiri selama tiga hari. Hidup dalam tekanan dan keterbatasan. Tenda parasit yang berukuran tak lebih dari 3 x 5 meter dihuni satu regu 10 orang. Mandi harus bergantian, itu pun harus mengantre dan menumpang di sumur warga sekitar lapangan. Mereka, para peserta masak sendiri. Ini sekaligus menunjukkan sifat luhur bangsa Indonesia yang peduli. Bukan hanya para peserta, warga sekitar juga peduli dengan membiarkan sumurnya ditempati peserta perkemahan, membiarkan beranda rumahnya ditempati tidur oleh para peserta, pendamping, dan panitia kegiatan perkemahan. Mereka tidak diusir.

Materi perlombaan dalam kegiatan ini tidak hanya masalah kepramukaan yang meliputi semphore, morse, pioneering alias tali-temali saja. Melainkan hal lain yang berkaitan dengan keterampilan dan seni yang meliputi lomba memasak, tari tradisi, lagu daerah, lagu pop, dan lagu wajib nasional. Merka benar-benar ditempa dan menempa diri menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Orang yang harus diacungi jempol dalam kegiataan perkemahan ini tidak hanya para peserta, malainkan juga para panitia yang rata-rata terdiri dari pelajar SMA, Mahasiswa dan Anggota Pramuka yang masih muda-muda. Mereka menggalang dana dari donatur dan sponsor tanpa harus memikirkan untung rugi (dan sepertinya rugi). Mereka mempersiapkan segalanya, mulai dari permohonan izin, publikasi kegiatan, bahkan sampai memotong sendiri bambu sumbangan dari kepala desa Jatimulyo. Masihkan kita harus berpikir bahwa generasi muda Indonesia adalah generasi yang manja?

Di tengah kehebatan, dan kedahsyatan semangat para Praja Muda tersebut tetap saja ada kekurangan. Tidak baiklah jika kekurangan tersebut yang ditonjolkan tetapi, yang perlu menjadi catatan adalah, komptesi dalam pramuka adalah kompetisi positif. Memang ada perselisihan yang terjadi antara para pembina pendamping masing-masing pangkalan (sekolah), baik sesama pendamping maupun antara pendamping dan panitia, namun perselisihan itu dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat dalam arti yang sebenarnya. Tanpa harus ada perselisihan yang berkepanjangan.

Hal lain yang perlu disayangkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut adalah tidak maksimalnya jumlah peserta. Jumlah regu yang mengikuti tak lebih dari tiga puluh, padahal sekolah tingkat SMP dan MTs di Jenggawah saja jauh lebih banyak daripada itu, lebih parah lagi yang diundang untuk mengikuti kegiatan ini meliputi lebih dari 10 kecamatan, dari ambulu hingga kebonsari. Beberapa sekolah kabarnya tidak mengikuti perlombaan tersebut dengan alasan faktor cuaca. Hujan. Salah seorang pembina pramuka menanggapi hal ini dengan ucapan santai, Pramuka kok takut hujan.

Berdasarkan hal tersebut, sebenarnya yang patut dipertanyaan bukanlah generasi muda Indonesia, melainkan generasi tuanya yang lebih suka memilih dan berada di titik nyaman. Sekolah (dalam hal ini gurunya) mungkin enggan harus mendampingi siswanya mengikuti lomba pramuka di musim hujan. Takut basah di lapangan. Padahal para peserta yang ada di bumi perkemahan bersemangat, baik yang MTs, baik yang SMP baik negeri maupun swasta semua mengerahkan kemampuan terbaiknya. Tentu meskipun tidak dapat dipastikan seratus persen, tetapi kemungkinan besar bahwa Pramuka di sekolah yang enggan mengikuti perlombaan tersebut sebenarnya ingin mengikuti dan antusias.

Andaikan para pemangku jabatan di tiap-tiap sekolah mengetahui bahwa di pramuka tidak hanya masalah baris hadap kiri kanan, dan tali-temali tongkat. Kecerdasan juga sangat dibutuhkan, untuk menuntaskan materi Kompas dan Mata Angin, Menaksir, dan Cerdas Cermat. Bukankah pendidikan tidak hanya melahap ilmu yang diberi oleh guru di dalam kelas, tetapi juga pengetahuan dan tempaan sikap yang didapat di lapangan?

Pangkalan yang berhasil menyabet piala bergilir adalah Pangkalan SMPN 2 Ambulu, masing-masing untuk satuan regu putra dan putri. Piala peringkat kedua putra dibawa pulang oleh Pangkalan SMPN 1 Jember, peringkat kedua putri diraih oleh SMP PGRI Jenggawah, sedangkan peringkat ketiga putera dan puteri dihuni oleh MTs. Hidayatul Mubtadiin, sidodadi-Tempurejo. Bukan masalah siapa yang menang dan siapa yang kalah. Tetapi proses peraihannya yang perlu dilalui. Pemenangnya melakukan sujud syukur, mereka beryel-yel penuh gembira. Begitupun yang kalah, tak lantas meratap dan menolak hasil perlombaan. Mereka saling mengucapkan selamat dan berjabat tangan. Masihkah kita kita meragukan kehebatan generasi penerus bangsa?

Sekali lagi yang perlu dikhawatirkan adalah mental generasi tua kita yang terkadang masih tidak percaya dengan kemampuan generasi mudanya. Hendaknya semua pihak, mendukung kegiatan seperti ini. Kepala Sekolah, Kepala Dinas Pendidikan, Perangkat Desa dan Kecamatan, serta seluruh pihak yang mengaku mencintai negeri ini harus terlibat aktif dalam kegiatan pengembangan dan pendidikan karakter semacam ini. Tentu dengan tugas, peran, dan fungsi masing-masing.

Tunas-tunas muda ini perlu dipupuk, agar tumbuh subur, berkembang, dan berbuah demi Indonesia jaya. Setidaknya ini menjadi sedikit refleksi akhir tahun kita, untuk lebih bermakna untuk Inodnesia.

Salam Pramuka!

6 tanggapan untuk “Catatan Bhayangkara Adventure 2014: Memupuk Tunas Muda Indonesia Agar Tumbuh Subur”

Tinggalkan Balasan ke muntijo Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.